Surat Kaleng


Dear, 1 Juli 2014 12:09
Segelintir rindu yang menggelitik mulai menyembul ke permukaan.

“Terkadang kamu memilih untuk mengabaikan seseorang, hanya karena itu cara termudah untuk menghindarkan dirimu dari luka.”

Senjaku menguap, lingakaran penuh kejinggaan itu kembali ke peraduannya. Sekelompok unggas mengemudi di tengah lautan udara, kembali menuju persinggahan penuh ketenangan. Menarik kegelapan bersamanya. Kemudian mendorong kebiruan meninggalkan kemegahan sang raya.

Sayup-sayup terdengar sapaan dan balasan dari hewan-hewan pelantun tajuk malam. Disertai rajukan angin yang damai. Kelamku telah lama menari, mengabaikan kepingan rindu yang berbalut senyuman.

Kala lumpur kerinduanmu menenggelamkan sekujur hatimu, maka saat itulah aku sekuat-kuatnya membelenggu cintaku untuk tidak membersihkannya. Biarlah penawar itu muncul dengan sendirinya. Biarlah sang waktu menjemput semua luka. Dan biarlah pembiasaan menguatkan masing-masing dari kita.

Selamat malam tuan,
Namamu masih tertera jelas di hatiku, yang kini mulai tersamarkan dari kemerlap duniaku.

Aku sesungguhnya mulai mengurai senyum sejak kepergianmu. Namun,  sejatinya aku ingin kamu tetap menjadi alasan dibalik semua senyum dan tawaku. Mungkin ini hal yang akan sulit kaumengerti bahwa seluruh tawaku kini hanya pengganti isakan tak terbatas, yang tak mungkin ku tunjukkan kepada mereka. Mereka yang kujadikan tempat untuk bersembunyi. 

Nampaknya aku telah salah. Menganggap perkataanmu adalah janji. Melompat berusaha menggapai apa yang kaugambarkan sebagai cinta. Janji suci tak seharusnya terlupakan. Tak seharusnya pula mudah untuk dipatahkan. Selama ini ternyata aku hanya tejerat dalam selubung harapku sendiri.

Kini kamu menjadi terbatas. Seolah dikelilingi tembok berlapis yang tak akan pernah habis. Bahkan lidah menjadi sangat kelu untuk sekedar melontarkan kalimat sapa. Aku terlalu terpenjara untuk kamu yang ingin bebas. Bukan begitu? Bahkan kita yang dulunya banyak bicara, kini terperangkap dalam keasingan. Kembali menjadi dua sosok yang seolah tak pernah bertemu dalam garis yang sama. Semua rayuanmu semu. Dan seluruh guyonanmu kini hayalan belaka. Kita yang dahulu seolah mimpi. Mimpi yang kini membentur kenyataan. 

Tak ada lagi yang mengikat, tak perlu lagi menahan sesak, dan takkan lagi melembab. Kini aku sepenuhnya merengkuh kesendirian. Dibalik itu, aku berusaha berpegang pada mimpi-mimpi kita yang dulu. Mimpi milik kita bersama. Kita yang disatukan hal aneh yang kita sebut kebetulan karena radar kita yang teramat erat. Karena sesungguhnya hanya mimpi kita yang menguatkanku sampai sejauh ini. 

Lama aku berusaha mempertahankan yang aku punya. Terpaut pada harapan-harapanku yang bisu. Sebisa mungkin mengabaikan sesuatu yang kusebut iri atau cemburu. Tapi nyatanya aku terlalu ringkih untuk tetap tegar, tuan. Hingga tiba pada hari di mana aku berhenti menyuapi dan kamu menolak untuk menelan.

Mereka anggap aku pengkhianat. Mereka anggap aku pendusta. Mereka anggap aku penahan kebebasanmu. Kamu anggap aku pemimpi yang hebat. Kamu anggap aku layaknya embun yang berusaha kokoh diterpa angin. Sampai kamu menelantarkan sepotong hati yang mulai kamu anggap gulma.

Terlalu banyak bentuk kata, tapi tidak pernah ada yang dapat menggambarkan kekecewaan yang begitu mendalam. Takkan pernah. Entah sampai kapan aku dapat berhenti menunggu datangnya penyelesaian masalah, dan bukan penyelesaian hubungan yang terjadi beberapa bulan yang lalu. Kalimat penyelesaianmu begitu ringkas. Dengan sederhana mengoyak seluruh harapan yang telah lama tertata rapih. Harapan yang membumbung tinggi itu dengan terpaksa membuncah. 

Dahulu kamu pilihkan satu untukku, yang kemudian kamu ambil lagi dan kamu jajakan dengan percuma. Cintamu kini menjauh. Kita seolah dua kutub magnet yang sama. Selalu menolak untuk bertemu. Mengingkari. Aku akui ada rindu yang tertahan lama di sini. Aku mengingkari perasaanku sendiri. 

Aku terlalu ragu untuk berjuang. Hingga akhirnya tak lagi kau perjuangkan. Aku terlalu bosan merindu. Hingga akhirnya tak lagi dirindukan. Aku terlalu sering melarikan diri. Hingga akhirnya kau tinggal pergi. Dan aku yang terlalu tenggelam dalam pikiranku ini, memang bukan tempat untuk berbagi.

Terlalu banyak bagian dari “aku” yang menanti kepulanganmu. Tapi aku khawatir akan lebih banyak rotan yang nantinya akan mengikatmu kembali. Aku takut kamu takkan merasa nyaman. Karena aku mungkin bukan rumah yang tepat. Tapi bisakah kerajaanmu menerimaku kembali? Aku terlalu rindu pada sosokmu yang tak mungkin kembali terengkuh. Segelintir rindu yang membumbung tinggi ini mengusikku sepanjang malam. Menunggu suara khasmu.

Malam ini aku benar-benar mengeja kenangan. Dengan genangan air yang berlabuh di pelupuk kedua mataku. Setiap tetes yang beralaskan rasa itu mendarat sempurna dalam sentuhan singkat jemariku. Aku berusaha membekap rinduku dalam-dalam. Tapi nyatanya aku terlalu terperosok dalam merah jambu yang bertemakan kamu, tuan.

Kini tak ada lagi tangan untuk digenggam ketika lari. Kami lari sendirian. Dan selanjutnya menyerah pada diri kami yang kelelahan. Kamu memilih untuk pergi. Mungkin kini telah ada hati yang menutup lengkung yang dulunya ruang untukku. Dan setiap mengingat itu, rasanya pilu segera membanjiri sekujur tubuhku. Aku belum sanggup untuk melihat cinta yang mulanya untukku dimiliki oleh orang lain. Jangan biarkan aku melihatnya, tuan. Ku mohon. Aku takkan sanggup.

Kita terlalu jauh untuk kembali menjadi seorang teman. Bersyukurlah mereka yang dapat tertawa denganmu tanpa rasa canggung, menghabiskan hari dengan beragam kejadian. Mereka yang tetap bisa duduk tepat di sampingmu. Mereka yang mencuri senyummu. Mereka yang bisa bersenda-gurau lewat telepon genggam denganmu hingga larut malam. Dan mereka yang begitu mudah untuk bersamamu.

Jarak yang kasat mata di antara kita terbentang luas. Tak bisa dipungkiri lagi. Dulu kamu menganggap kita memiliki banyak kesamaan, tapi termakan waktu kalimat itu berubah menjadi “kita udah beda”. Ada celah-celah besar dalam benakku. Celah yang tercipta karena kegagalanku untuk menghapus ingatan tentangmu. Celah yang kini terbengkalai. 

Setiap harinya sel dalam otakmu bertambah, sekaligus mati. Masihkah kutemui kamu yang dulu? Masihkah ada untaian namaku dihatimu? Mungkinkah kamu mendengungkan panggilan istimewa itu lagi untukku? Atau haruskah aku menyemai bunga yang baru di hati yang sama? Tunjukkan padaku caranya.

Air mataku jatuh lagi. Seharusnya memang tak begini. Aku bukan lagi alasan untukmu kembali. Aku tak boleh lagi terus terlarut dalam kenangan atas namamu. Tapi aku juga tak pernah bisa benar-benar pergi dari semua ini. 

Kamu meminta untuk menjadikan semua ini pengalaman. Apa aku begitu rumit untuk dikenang? Maaf untuk seluruh sebutan yang keliru. Maaf untuk rasa yang mungkin telah salah. Maaf karena aku menganggu sebagian hidupmu. Dan maaf atas caraku mencintaimu. Aku berharap bisa menyayangimu tanpa rasa bersalah, agar tidak ada lagi rasa takut saat kita bersama. Yang terakhir, maaf untuk semua hati yang turut merana.

Aku tak akan lagi menyalahkanmu. Semua kesalahan selayaknya memantul ke arahku. Aku sadar betapa berubahnya aku menjadi monster yang menjijikan. Monster yang memang pantas untuk dibenci dan ditinggalkan, sendirian.

Mungkin ini pilihan yang terbaik, atau juga tidak. Menjadi figur yang seolah tidak pernah mengenal dirimu. Hal mudah bukan? Terlebih untuk mereka yang tidak mengenal kita. Mari kita berusaha melafalkan hal lain, kemudian menyimpan keindahan dalam peti yang terjaga. Masa depan misalnya, walau tanpa aku bersamamu, atau kamu bersamaku -walaupun hatiku menolak hal itu mati-matian. Berjanjilah akan selalu tersedia ruang untuk pemilik celah itu, sampai semuanya benar-benar lenyap. Izinkan waktu mengambil bagiannya. Haven’t you?

Dulu di hari ini ada mahkota bunga yang mengembang. Kini hujan datang menghapus, bersamaan jejak hilangnya. Selamat tanggal 1, tuan.

Aku tak pernah tahu bahwa akan jatuh sedalam ini. Entah kapan rasa ini akan terjemput seluruhnya. Yang aku tau, aku menikmati merah jambuku bersama bayanganmu. Terimakasih telah rela menepi untuk beberapa saat.

Dari seseorang yang dulunya istimewa yang kini harus kembali menjadi pengagummu, Chan Rak Khun

-Kamu suka warna biru kan? Aku membingkai tulisan ini dengan warna kesukaanmu tentunya. Berharap kamu akan menyukainya.-

#NP: Moon Myung Jin crying again

posted under |

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan tuangkan pesan anda setelah membaca,
terimakasih ^^
untuk melihat postan saya yang lebih dulu silahkan cek posting lama

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Recent News

HAPPY READING FOR STALKER ツ

Followers


Recent Comments